Satu minggu sudah, sosok tokoh kharismatik yang lahir dari lingkungan Nahdlatul Ulama dengan kiprah mendunia, KH Ahmad Hasyim Muzadi, meninggal dunia dengan tenang. Tokoh yang meniti kiprah di lingkungan Nahdlatul Ulama mulai dari tingkat paling bawah hingga tingkat Pengurus Besar ini, dinilai oleh banyak kalangan sebagai orang yang patut diteladani, penuh ide dan gagasan briliyan, lebih-lebih dalam membangun Islam yang rahmatan lilalamin. Patutlah jika kemudian seluruh elemen bangsa merasa kehilangan atas meninggalnya sosok yang penuh dengan keteduhan ini.
Jika gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia wafat meninggalkan jasa dan kenangan. Bagi almarhum yang pernah dua periode memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, tampaknya tidak hanya sekedar meninggalkan jasa dan kenangan yang luar biasa bagi Nahdlatul Ulama, tetapi juga almarhum adalah orang yang terbilang pertama kali memulai atas kelembagaan Mahad Al-Jamiah di negeri ini.
Terminologi Mahad Al-Jamiah dalam konteks ini merujuk pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diakui, bagi sebagian kalangan lembaga Mahad Al-Jamiah ini belum begitu familir, tetapi sesungguhnya secara sosiologis telah dipraktekkan secara nyata oleh almarhum KHAhmad Hasyim Muzadi, yakni dengan dibangunnya Pesantren Mahasiswa Al-Hikam baik di Malang maupun di Depok.
Dengan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, almarhum mengisi ruang kosong yang belum banyak dilakukan oleh sejumlah kalangan. Pesantren Al-Hikam sengaja didesain oleh almarhum diutamakan bagi mahasiswa yang belajar pada perguruan tinggi. Dalam konteks ini, almarhum berkehendak untuk membekali mahasiswa terutama pada perguruan tinggi umum dengan ilmu keagamaan Islam. Tentu, langkah ini merupakan langkah yang sangat strategis. Mahasiswa yang kuliah pada perguruan tinggi umum ini sesungguhnya merupakan kader-kader bangsa yang memiliki pengetahuan umum yang tinggi dan dinamis, namun tidak sedikit di antara mereka yang pada aspek pengetahuan keagamaannya minim.
Pengetahuan umum tanpa dibarengi dengan pengetahuan keagamaan dirasakan kering, hambar, gagal faham dalam memahami agama, bahkan bisa jadi melahirkan pemikiran yang radikal. Demikian juga, pengetahuan keagamaan tanpa dibarengi dengan pengetahuan umum dirasakan dogmatis, jauh dari rasionalitas, dan melahirkan pemikiran yang kaku. Oleh karenanya, menggabungkan antara kompetensi pengetahuan umum dengan pengetahuan agama akan melahirkan sosok ilmuan yang agamawan dan agamawan yang ilmuan.
Memang, secara ontologi keilmuan, relasi antara ilmu pengetahuan dengan agama cenderung difahami secara beragam. Sebagian pemikir di bidang filsafat ilmu, seperti Pervez Hoodbhoy (Islam and Science), menilai bahwa ilmu pengetahuan itu netral, sehingga tidak ada kaitan antara ilmu pengetahuan dengan agama. Pervez menyatakan: Tidak ada yang disebut ilmu islami, dan semua upaya untuk mengislamkan ilmu akan mengalami kegagalan. Sementara bagi sebagian filosof ilmu lainnya, seperti Syed Naquib Al-Attas (Islam and Scularism, 1993) dan Ismail Raji al-Faruqi (Islamization of Knowledge, 1982), menyatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak bebas nilai. Ia sarat nilai yang dipengaruhi oleh pandangan hidup, budaya, dan konstruk sosial. Sementara itu, G. Ian Barbour (When Science Meets Religion, 2000) menyatakan setidaknya ada 4 (empat) relasi antara ilmu pengetahuan dengan agama, yakni konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Apa yang dilakukan oleh almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi dengan eksperimentasi Pesantren Al-Hikam cenderung lebih menempatkan pola mengintegrasikan keilmuan umum dengan agama, selaras dengan gagasan Kuntowijoyo (Islam sebagai Ilmu), Mulyadhi Kartanegara (Integrasi Ilmu) dan lain-lain. Dengan mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dengan agama, mahasiswa pada perguruan tinggi diharapkan memiliki kemampuan pengetahun umum dan sain yang dimbimbing dan dikembangkan dengan agama, sehingga keilmuannya semakin valid dan bermakna. Demikian juga, kebenaran-kebenaran agama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan sains. Dengan demikian, antara pengetahuan umum dan agama, keduanya saling menguatkan dan membuktikan akan kebenarannya.
Pada sisi lain, almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi sangat jeli dengan problematika dunia perguruan tinggi umum. Mahasiswa yang hanya mengandalkan keilmuan umum saja, tanpa dibarengi dengan pengetahuan agama, ternyata di satu sisi tidak hanya memberikan kontribusi positif bagi pembangunan, tetapi di sisi lain juga dapat menimbulkan problem radikalisme dalam beragama. Kita masih terngiang dengan ungkapan almarhum bahwa Yang seringkali menjadi masalah itu adalah bukan orang awam tentang agama dan/atau orang yang ahli dalam agama. Akan tetapi, yang seringkali menimbulkan masalah adalah orang yang mengetahui agamanya hanya setengah-setengah.
Sejumlah penelitian menunjukkan keprihatinan yang luar biasa bagi perguruan tinggi umum. Penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dilakukan oleh Anas Saidi dan Endang Turmudzi menunjukkan bahwa virus radikalisme kian marak di perguruan tinggi umum. Dari penelitian itu ditemui sebanyak 86% mahasiswa dari lima perguruan tinggi di Pulau Jawa menolak ideologi Pancasila dan menginginkan penegakan syariat Islam. Bahkan, menurut survei The Pew Research Center pada 2015 disebutkan 4 persen orang Indonesia mendukung ISIS. Hasil penelitian Balitbang Kementerian Agama RI tahun 2015 berjudul Penelitian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum tahun 2015 menunjukkan bahwa peran dan fungsi pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan dibandingkan dengan peran dosen pendidikan agama Islam itu sendiri. Dikesankan, fungsi dan tanggung jawab dosen PAI di PTU telah diambil alih oleh organisasi kemahasiswaan maupun oleh organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan kampus, melalui berbagai tawaran kegiatan keagamaan yang dikoordinasikan oleh mahasiswa maupun ormas. Namun diakui, kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan yang diikutinya lebih banyak mengembangkan ide-ide pemikiran radikal dan transnasional.
Sebagaimana dimaklumi, penyelenggaraan pendidikan agama Islam pada perguruan tinggi umum didasarkan atas Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan itu, mata kuliah pendidikan agama Islam pada perguruan tinggi umum menjadi salah satu dari komponen MPK (Matakuliah Pengembangan Kepribadian) dengan bobot 2 SKS. Dapat dimaklumi, porsi 2 SKS untuk mata kuliah pendidikan agama Islam ini dipandang tidak cukup mampu dalam membekali pengatahuan agama Islam bagi mahasiswa.
Menyadari atas hal ini, Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaam Islam mengatur layanan Mahad Al-Jamiah sebagai nomenklatur Pendidikan Diniyah pada jalur nonformal di tingkat pendidikan tinggi guna melengkapi, mendalami, dan menguasai pendidikan agama Islam yang diperoleh di kampusnya. Peraturan ini memang disengaja untuk merespon sejumlah kegelisahan dan dijadikan alternatif solusi atas persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa dan dunia kampus pada umumnya.
Namun demikian, ternyata almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi telah mendahului dan menjelmakan gagasan Mahad Al-Jamiah itu dengan mendirikan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang pada tanggal 17 Ramadan 1413 bertepatan dengan 21 Maret 1992, jauh sebelum kelahiran Peraturan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2014 itu sendiri. Almaghfurlah KHAhmad Hasyim Muzadi tampaknya telah menginisiasi penyelenggaraan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam untuk melengkapi, mendalami, dan menguasai pendidikan agama Islam yang diperoleh di kampusnya. Atas dasar ini, dalam pandangan penulis, almarhum sangat layak untuk dikenal sebagai peletak dasar Mahad Al-Jamiah di Indonesia. Semoga.
(oleh Suwendi)