Al-Quran sebagai kitab pedoman dan bacaan Umat Islam sepanjang masa yang tak akan pernah lapuk dimakan oleh waktu. kemurniannya pun akan selalu dijaga oleh Allah yang melibatkan Malaikat Jibril, Nabi Muhammad, para sahabat, tabiin, tabii al-tabiin, para ahli filologi Al-Quran dan para hafidz tentunya. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”(QS. Al-Hijr [15]: 9). Selain berfungsi sebagai bacaan Al-Quran merupakan Samudra yang menyimpan beribu-ribi mutiara ilmu, yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang menyelaminya, Entah dari dari orang Islam sendiri atau dari non-Muslim.
Selama ini banyak orang salah persepsi tentang Al-Quran, bahkan sebagian para hafidz (orang yang hafal al-Quran, read) pun beranggapan bahwa Al-Quran itu hanya cukup dihafalkan sehingga setelah hafal Al-Quran mereka sudah merasa cukup dan merasa tidak perlu belajar lagi. Padahal jika Al-Quran diibaratkan samudra, maka orang yang hanya hafal al-Quran itu baru sampai di pinggir pantai saja, belum sampai di tengah apalagi menyelaminya. Dia belum tahu keindahan samudra yang sesungguhnya karena bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan saya mendapatkan mutiara yang indah dari lalut apabila dia tidak pernah menyelaminya sedangkan tempat mutiara itu di dasar lautan. Kalaupun mendaptkannya itu karena ombak yang membawanya ke pinggir pantai. Orang yang belum menyelami lautan maka dia belum mengetahui indahnya lautan samudra yang sesungguhnya. Mereka juga tidak akan menemukan mutiara Al-Quran selama tidak mampu menyelami mutiara-mutia ilmu al-Quran dan memahami isi dan kandungan al-Quran.
Hafal Al-Quran hanya merupakan tangga pertama yang dilalui, bukan berarti hafal itu akhir dari segalanya. Para sahabat Nabi ketika mengahafal Al-Quran tidak akan menambah hafalan lagi sehingga mengerti kandungandan bisa mengamalkan isinya. Berbeda dengan sekarang para huffadz berlomba-lomba dalam menghafal tanpa mengerti apa yang dihafalkan. Hanya sebatas hafal saja tidak salah, tapi bukan itu tujuan utama Al-Quran diturunkan. Memang iqra yang merupakan derivasi dari kata qara-a (membaca) yang pertama kali Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui ruh al-Amin Malaikat Jibril. Namun ada pelajaran yang dapat diambil dari surah iqra/al-alaq trrsebut bahwa manusia bukan hanya dituntut untuk membaca saja tapi bagaimana setelah membaca manusia mampu mengenali Tuhannya (Allah) dengan menyebut bi ismi rabbika alladzi khalaq (dengan nama tuhanmu yang telah menciptakanmu). Dari situ bisa kita fahami bahwa membaca bukan hanya sekedar membaca yang tersurat tapi juga manusia harus mampu membaca yang tersirat untuk mengenali-Nya melalui ciptaan-Nya dan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Pada ayat berikutnya Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari Alaq (segumpal darah), dari ayat kedua surah al-Alaq ini dapat kita ambil sebuah pelajaran berharga berupa penciptaan manusia. Sesuatu yang sangat berharaga dalam diri manusia yaitu darah, lalu kemudian dari segumpal darah Allah alirkan ke seluruh tubuh kita dan terpusat pada jantung. Kita bisa leluasa menikmati segala ciptaan-Nya yang dihidangkan di Hadapan kita. Bisa dibayangkan apa yang terjadi apabila Allah bekukan kembali darah melalui jantung. Dari sinilah Allah ajarkan pada diri kita untuk mengenali-Nya melalui ciptaann-Nya yang terdekat dengan kita yaitu diri kita sendiri. Betapa agungnya kalamullah ini, sarat akan makna dan hikmah untuk selalu kita ambil sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafii (150-204 H), setelah hafal Al-Quran di usianya yang masih sangat belia (tujuh tahun, read) beliau tidak lantas merasa puas. Beliau langsung melanjutkan belajar bahasa arab di salah satu tempat di Hijaz (Saudi Arabia, sekarang). Pada waktu itu di usia yang sangat belia Syafiie kecil dengan gagah berani pamit meninggalkan ibunya yang seorang janda. Ibunya pun dengan sabar dan tabah melepas Syafiie kecil demi sebuah cita-cita besar. Setelah berumur sepuluh tahun beliau sudah hafal Al-Muwatta karangan Imam Malik. hal itu dibaca langsung oleh beliau di hadapan Iman Malik. Pada saat itu murid Imam Malik adalah para syeikh sedangkan Imam syafii masih berusia sepuluh tahun diterima oleh imam malik karena kegigihannya dalam belajar ilmu.
Setelah ilmu Imam Malik diserap semuanya beliau (imam syafii) tidak lantas merasa puas. Beliau izin ke Imam Malik untuk belajar ilmu lagi ke Imam Abu Hanifah diusianya yang baru menginjak 14 tahun. Bukanlah jarak yang dekat antara Madinah dan Irak apalagi saat itu belum ada motor, mobil, apalagi pesawat. Tapi perjalanan jauh itu beliau tempuh menyusuri padang pasir dan hutan belantara untuk mendalami ilmu yang dimiliki Imam Abu Hanifah (80-150 H, Abu Zahrah, Abu Hinifah Hayatuhu wa Ashruhu-Arauhu wa fiqhuhu ). Walau ketika sampai di Irak Abu Hanifah sudah wafat namun tidak lantas membuat Imam Syafii putus asa .Beliau kemudian mencari murid Utama Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf untuk berguru kepadanya. Pada usia 18 tahun beliau telah mejadi mufti.
Imam Syafii lahir di Arab dan sehari-hari menggunakan bahasa Arab yang memang bahasa Arab adalah bahasa yang dipilih oleh Allah sebagai bahasa Al-Quran (Yusuf [12]: 2). Untuk memahami isi dan kandungan Al-Quran yang dikemudian hari beliau letakkan sebagai hujjah/dalil pertama dalam menentukan hukum fiqh (Abu al-Zahrah, Al-Syafiie, hayatuhu wa Ashruhu-Arauhu wa Fiqhuhi ) maka beliau masih merasa perlu belajar dan mendalami bahasa Arab. apalagi kita yang bukan orang arab dan tidak menggunakan bahasa arab maka harus lebih ekstra dalam mempelajari kandungan-kandungan al-Quran yang berbahasa Arab. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Jalalu al-Din al-Suyuthi (849-911 H) bahwa salah sarana yang harus dikuasai bagi orang yang ingin memahami dan menafsiri Al-Quran adalah penguasaannya terhadap bahasa Arab.
Berbagai macam ilmu ada dalam Al-Quran, tinggal seberapa gigih seseorang untuk mendalami dan memahami al-Quran. Sejak zaman dahulu dan sampai saat ini para mufassir selalu menyajikan berbagai tafsir yang fenomenal di masanya. Dengan berbagai sudut pandang dan corak pandang berbeda sesuai pendekatan dan manhaj yang dimiliki oleh para mufassir itu sendiri. Hal itu menandakan pembahasan Al-Quran tidak akan habis dan akan selalu melahirkan hal-hal yang baru. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
Ù‚ÙÙ„ لَّوْ كَانَ ٱلْبَØْر٠مÙدَادًا لّÙÙƒÙŽÙ„Ùمَٰت٠رَبّÙÙ‰ Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙÙدَ ٱلْبَØْرÙقَبْلَ Ø£ÙŽÙ† تَنÙَدَ ÙƒÙŽÙ„Ùمَٰت٠رَبّÙÙ‰ وَلَوْ جÙئْنَا بÙÙ…ÙثْلÙÙ‡ÙÛ¦ مَدَدًا (Ù¡Ù Ù©)
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.(QS. Al-Kahfi [18]: 109). belum lagi dibidang ilmu-ilmu lain yang dihasilkan dari penelitian Al-Quran.
Untuk memahami dan menafsirkan al-Quran minimal ada lima belas (15) cabang ilmu yang harus dikuasai seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Suyuti dalam kitabnya (Al-itqan fi Ulumil Quran). Samudra dan mutiara Al-Quran akan lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah punya modal seperuh ilmu al-Quran, yaitu mereka para hafidz. karena dengan hafal Al-Quran akan memudahkannya dalam belajar ilmu-ilmu lainnya. Dengan catatan potensi hafalan yang dimiliki dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan tentang Al-Quran.
Mengarungi dan menyelami samudara tentunya butuh kapal dan alat, walau tidak seluruh samudra dapat di arungi dan diselami. Demikian juga dalam mengarungi dan menyelami samudara al-Quran yang tak berujung dan dan tak bertepi.
Oleh: Achmad Suladi Al-Madury