Di dalam Islam ilmu menjadi bagian yang sangat urgen. Urgensi ilmu itu bisa dilihat dari bagaimana sumber primer dari ajaran Islam secara langsung menyitir dan memerintahkan untuk menuntut/mencari ilmu. Misalnya di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara langsung mensinyalir tentang ilmu. Misalnya di dalam Q.s. al-Mujadalah : 11, Thaaha : 114], Az Zumar : 9 dan lain sebagainya.
Tidak terhenti pada Al-Quran, hal inipun diperjelas lagi di dalam banyak hadits Nabi SAW ,misalnya terdapat hadits yang menyebutkan keharusan seseorang untuk menuntut ilmu sedari lahir sampai masuk ke liang lahat, di dalam hadits yang lain disebutkan juga bagaimana menuntut ilmu itu sudah permanen sebagai suatu kewajiban baik untuk seorang Muslim/Muslimah tidak ada distingsi diantara keduanya, keduanya memiliki hak yang sama di dalam perkara ilmu.
Hal ini semata-mata karena ilmulah yang memuliakan dan mengangkat derajat seseorang, dia juga yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya, dan karena demikian pentingnya perkara ilmu ini, hingga Allah SWT di dalam firman-Nya secara langsung mengajarkan Nabi untuk senantiasa meminta tambahan ilmu. Allah SWT berfirman:
وقل رب زدني علما
“Ya Tuhanku, tambahkan untukku ilmu pengetahuan” (QS. Thaha:114).
Namun apa sebenarnya inti dari pencarian ilmu itu, apakah untuk kepintaran, jabatan,nama baik dan kemasyhuran saja? ,Jika tujuan daripada ilmu itu terhenti pada perkara ini, maka ilmu jauh lebih mulia dari hal-hal ini . Imam Ali KW di dalam satu Qoulnya pernah berucap:
العلم خير من المال
“Ilmu itu lebih baik daripada harta”.
Dengan ilmu seseorang bisa mendatangkan harta tapi tidak sebaliknya. Dan apabila pencarian ilmu hanya terhenti pada harta maka itu adalah suatu penurunan. Dan seharusnya, ilmu dijadikan sebagai mediasi untuk sampai kepada-Nya, merasakan keberadaan-Nya. Di dalam peroses pencarian ilmu hendaklah melibatkan khosyatullah, karena khosyatullah (perasaan takut kepada-Nya) yang akan memasukkan tanggungjawab terhadap ilmu tersebut.
Ibnu Athaillah kitab al-Hikamnya di hikmah yang ke 230 mengungkapkan:
العلم إن قارنتةالخشية Ùلك وإلاÙعليك
“Suatu ilmu jika disertai dengan khosyatullah (takut kepada Allah) maka hal tersebut akan memberikan dampak positif terhadapmu. Dan jika tidak, maka dia akan menjadi sesuatu yang mudharat bagimu.”
Ilmu yang disertai dengan khosyatullah akan melahirkan tanggung jawab. Sebaliknya, ilmu yang tidak terdapat khosyatullah padanya,hanya akan terhenti pada teori tidak akan sampai pada aplikasi, hal ini karena :
العلم شيئ ومسؤولية العلم شيئ أخر
“Ilmu adalah sesuatu dan pertanggungjawaban terhadap ilmu itu adalah sesuatu yang lain.”
Keberadaan ilmu tidak serta merta langsung melahirkan tanggung jawab, ini bisa dilihat dari realitas yang terjadi akhir-akhir ini, sebagaimana realitas yang sering dicontohkan oleh al-maghfurlah Abah KH. Ahmad Hasyim Muzadi yakni bagaiamna seorang hakim diadili, polisi disidik dan lain sebagainya, maka tentu hal ini bukan karena ilmu yang ada padanya, melainkan karena tidak adanya pertanggungjawaban terhadap ilmu yang ada pada pemiliknya. dan hal tersebut bermuara pada kosongnya khosyatullah (ketakutannya terhadap Allah) , sehingga dia di dalam melakukan sesuatu tidak merasa terawasi oleh-Nya.
Dengan demikian maka sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang disertai dengan khosyatullah.