“Setiap kita adalah peribadi/contoh yang mencerminkan islam kepada dunia. Maka sekarang perhatikanlah bagaimana orang lain melihat Islam dari kita”.Syeikh Usamah Sayyid al-azhari
Semalam tidak sengaja Membuka satu akun Instagram dari seorang yang ditokohkan. Di dalam akun tersebut diupload satu cuplikan video dengan caption “Santri sedang belajar ceramah”. Di dalam video tersebut, sang santri yang sedang belajar berceramah dikelilingi oleh beberapa santri lainnya dengan penuh semangat menyampaikan latihan ceramahnya dengan ungkapan-ungkapan yang menurutku jauh dari kelayakan,di dalam pilihan kata-katanya tak ada sensor, diksi yang dipergunakan pun melibatkan beberapa nama hewan yang sesekali diselingi gema takbir oleh santri lainnya. Sepontan saja aku berfikir, ini masih latihan ceramah. Bagaimana kalau sudah jadi? Entahlah. Yang jelas, setiap orang adalah cerminan dari apa yang ada padanya.
Sedari dulu Islam seringkali disalahkan, distigmakan sebagai suatu ajaran yang eksklusif,yaitu satu ajaran yang jauh dari nilai toleransi, disebarkan dengan pedang/kekerasan dan lain sebagainya. Anggapan demikian tentunya berangkat karena pengetahuan yang tidak utuh/konfrehensif mengenai ajaran yang dikandungnya. Atau bisa jadi anggapan itu berangkat dari tiap-tiap Muslim yang membawakan atau tumpuan peraktik dari ajaran tersebut.
Islam adalah agama damai dan mengajarkan kedamaian. Sebelum jauh ke mana-mana, dari sisi nama saja, kita sudah menangkap nuansa kedamaian yang terselip di dalam ajaran ini. Di dalamnya tidak hanya menyuguhkan praktik ibadah dan tata cara mendekatkan diri kepada sang pencipta. Lebih dari itu, di dalamnya menyimpan nilai sosial yang mengatur pergaulan seorang hamba dengan hamba yang lainnya, nilai-nilai toleransi, yang dengannya setiap peribadi/golongan/bangsa saling menghormati dan menghargai satu sama lain pun tersedia di dalamnya.
Islam yang dibawakan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah satu ajaran yang agung dan tidak akan ada satu ajaran pun yang melampaui keagungan dan ketinggiannya. Hal ini senada dengan apa yang disabdakan di dalam haditsnya :
الإسلام يعلو ولا يعلى عليه
Artinya: ”sesungguhnya Islam itu mulia/tinggi tidak ada agama yang lebih tinggi daripadanya”. (HR. Bukhari).
Dengan demikian, islam sebagai suatu ajaran sudah tidak diragukan lagi menyimpan regulasi dan nilai-nilai yang agung yang bisa berinteraksi secara luas serta memberi manfaat untuk seluruh alam sebagaimana misi yang tersemat padanya yaitu ” rahmatan Lil’alamin”.
Hanya saja dibalik semua itu, perlu diperhatikan bahwa terkadang antara suatu ajaran dan pemeluk dari ajaran tersebut seringkali terjadi disparitas (jarak). Seringkali ketika terjadi tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum yang mengaku Muslim,maka sepontan saja yang disalahkan adalah Islam, yakni bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari Islam. Padahal antara Islam sebagai ajaran dan pemeluknya adalah dua hal yang berbeda. Islam sebagai suatu ajaran sesuatu yang suci,tinggi dan transendental. Namun manusia sebagai praktisi dari suatu ajaran adalah peribadi yang relatif yang setiap saat berpotensi untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari ajaran yang diyakininya.
Terkait hal ini, mungkin apa yang pernah di ungkapkan oleh Syeikh Muhammad Abduh ” al-islamu mahjubun Lil muslimin” Islam tertutupi oleh umat Islam sendiri sampai saat ini masih relevan. Bahwa seringkali tindakan yang kita hadirkan dan lakukan sebagai muslim, seringkali justru bertentangan dari ajaran yang sesungguhnya terdapat di dalamnya. Sehingga pelan-pelan tindakan yang bertentangan itu akan mereduksi nilai ajaran yang terdapat di dalamnya.
Maka dengan demikian setiap muslim akan menampakkan Islam kepada pihak lain berdasarkan pada apa-apa yang difahami dan dijalankannya. Jika baik, maka baik pula tanggapan seseorang terhadap Islam, namun jika sebaliknya Islam pun tetap akan distigmakan sebagaimana yang sudah-sudah.