Jabatan Perspektif Kitab Al-Hikam
  • Admin
  • 17 September 2016
  • 3603 x
kegiatan-kampus,kegiatan-pondok

Malang- Di Indonesia, sedang musimnya orang mencari jabatan. Baru-baru ini telah berlangsung pemilihan calon legislatif, sebentar lagi akan ada pemilihan presiden. Terkait dengan jabatan, kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah memiliki tiga pandangan. Pertama, dilihat dari segi hakikat. Kedua, segi syariat dan ketiga segi politik. “Hal ini menjadi persoalan yang penting agar kita memahami batasan syariat yang sesungguhnya, mengenai bagaimana mencari, mengemban, dan menggunakan jabatan,” kata KH. A. Hasyim Muzadi dalam Pengajian Kitab Al-Hikam pada Ahad (05/05) pagi di Masjid Al-Ghazali Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.

Kiai Hasyim menerangkan, dalam Kitab Al-Hikam disebutkan, apabila kamu tidak ingin tergeser maka jangan memangku jabatan yang tidak mungkin abadi. Makna secara sederhana bahwa tidak ada jabatan yang abadi di dunia ini. Lalu harus bagaimana ? Menurut Kiai Hasyim, jika kamu berani memangku jabatan maka kamu harus berani berhenti dari jabatan itu. Jika takut berhenti dari jabatan, maka tidak perlu menjabat. Hakikatnya, jabatan itu tidak ada yang abadi. Berbeda dengan derajat. Derajat itu pemberian Allah berdasarkan amal seorang hamba. Derajat mulia tumbuh dari amaliah shaleh yang diberikan allah kemudian menjadi maqaman mahmuda atau makam yang terhormat.

Secara syariat, kata Kiai Hasyim, jika jabatan itu digunakan untuk kepentingan syariat maka kemanfaatannya akan luar biasa. Tetapi penyakitnya adalah apakah dia untuk rakyatnya atau rakyatnya saja yang disuruh memilih. Dalam keterangan Kiai Hasyim, untuk menyempurnakan jabatan secara syariat agar bisa bermanfaat, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat; 1) Shidiq. Yaitu jujur dalam hal apapun. Semisal jujur dalam memilih uang Negara atau uang pribadi.  2) Amanah. Yaitu seseorang yangdiangkat menjadi presiden, menteri atau DPR itu diminta apa oleh masyarakat dan dia harus memenuhinya. Kalau dia melakukan dengan semestinya, maka ia memenuhi amanahnya; 3) Tabligh, yaitu menyampaikan gagasan semisal jika ia memimpin, rakyat akan dibawa kemana; 4) Fathonah, dalam arti ia mengerti tugas yang ia emban.

Apabila jabatan dilihat dari politik maka politik itu adalah pekerjaan mulia jika dilakukan oleh orang yang mulia. Abah Hasyim bercerita flashback mengenai keadaan politik pada tahun 1977. Saat itu tokoh politik sangat terhormat. Semisal, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan mengadakan kampanye, maka seluruh rumah ingin menjadi tempat kampanye karena masyarakat merasa bangga dengan perjuangan PPP. “Politisi saat itu dianggap sebagai penyelamat agama dan Negara. Berbeda dengan sekarang yang total berubah,” ucap Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan Depok ini. Lanjutnya, politisi saat ini tidak akan didengarkan bicaranya jika masyarakat tidak diberi bayaran dulu. Berbeda dengan acara pengajian atau istigotsahan, masyarakat tak perlu dibayar, sudah banyak yang datang. Hal ini memberikan makna, bahwa Allah masih membedakan perkara haq dan bathil. “Mudah-mudahan, kita senantiasa dalam posisi yang benar (haq) dan diberikan keselamatan oleh Allah Swt,” pesan mantan ketum PBNU ini di akhir pengajian. (zul)