Masukilah NU dari Berbagai Pintu
  • Admin
  • 17 Oktober 2022
  • 3862 x
artikel

[Dr. Rosidin, M.Pd.I.]

Alkisah, Nabi Yaqub AS berpesan kepada putra-putranya: “Hai anak-anakku, janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain” (QS Yusuf [12]: 67). Ini adalah salah satu strategi jitu yang dapat diterapkan dalam pengembangan NU di masa kini.

Dari sisi input, NU tidak seperti partai politik yang hanya menerima kader yang dinilai berpotensial memberikan kontribusi. Sejak awal, NU membuka pintu lebar bagi siapapun umat muslim yang berminat menjadi warganya, tanpa ada diskriminasi latar belakang status sosialnya.

Tampaknya, kebijakan ini dilandasi oleh bukti historis bahwa orang-orang pinggiran yang semula dinilai tidak memiliki potensi apapun, justru di kemudian hari menjadi tokoh muslim legendaris.

Lihatlah Bilal ibn Rabah RA, budak legam yang status sosialnya teramat rendah, justru menjadi intan berkilau ketika ditunjuk menjadi muadzin utama masa kenabian.

Lihat pula Ibn Ummi Maktum RA, sosok tuna netra yang sempat diabaikan oleh Nabi SAW (QS Abasa [80]: 1-4), justru di kemudian hari menjadi shahabat kesayangan Nabi SAW dan diberi tugas menjadi muadzin kedua di samping Bilal RA.

Bahkan Nabi SAW sering menyambutnya dengan pelukan sembari memanggil dengan mesra, “Wahai orang yang membuatku disindir Allah”. Demikian pula Abu Ayyub al-Anshari RA, orang miskin dengan rumah sederhana yang justru dipilih oleh Nabi SAW sebagai tempat tinggal sementara sebelum beliau memiliki rumah sendiri.

Semua fakta historis ini sampai pada simpulan bahwa input warga NU tidak diseleksi di awal, melainkan diproses sedemikian rupa, sehingga akhirnya berkontribusi sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.

Dari sisi proses, NU menggunakan pendekatan Hikmah, Mauizhah dan Mujadalah (Q.S. al-Nahl [16]: 124). Hikmah (keteladanan) adalah ujung tombak kaderisasi warga NU. Ulama adalah figur teladan utama bagi warga NU.

Oleh sebab itu, apabila jumlah ulama di NU semakin menipis–semisal disebabkan ajal–, sedangkan kaderisasi ulama tidak berjalan dengan efektif, maka semakin minim pula keteladanan bagi warga NU di masa depan.

Efeknya adalah krisis keteladanan. Itulah mengapa, pesantren harus senantiasa dirawat dengan baik oleh NU, agar proses kaderisasi ulama berjalan lancar. Hanya pesantren, satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang terbukti menghasilkan “ulama”, sedangkan lembaga pendidikan lainnya masih belum terbukti.

Mauizhah (nasihat) adalah proses kaderisasi warga NU melalui berbagai majelis talim yang diadakan dalam skala terbatas (semisal pengajian kitab bagi santri di pesantren) maupun skala luas (semisal pengajian umum bagi masyarakat di desa maupun kota).

Ciri khas Mauizhah Dai-Dai NU adalah memadukan Al-Quran-Hadis dan kitab kuning; Rasulullah SAW dan ulama;Amar Maruf Nahi Munkar, al-Targhib wa al-Tarhib; ilmu dan seni; semuanya dipadukan secara harmonis sehingga membuat audiens betah berlama-lama mengikuti majlis talim tersebut.

Mujadalah (perdebatan intelektual) adalah kaderisasi yang menyasar pada warga NU yang dinilai memiliki kapasitas penalaran yang baik, sehingga dapat difungsikan sebagai “perisai” terhadap pemikiran-pemikiran yang menyerang NU –seperti Wahabi atau Salafi– sekaligus “tombak” bagi pemikiran-pemikiran yang meresahkan masyarakat –seperti Liberalisme dan Salafi-Jihadi.

Medianya bisa berupa perdebatan lisan secara langsung di forum ilmiah, acara televisi hingga debat terbuka; maupun berupa tulisan di media-media massa, baik cetak maupun elektronik, termasuk media sosial.

Dari sisi output, NU bagaikan sebuah film epik yang setiap pemainnya memiliki peran masing-masing. Tidak ada tokoh yang lebih besar daripada NU itu sendiri. Tokoh-tokoh NU boleh layu dan berkembang seiring zaman, namun NU senantiasa mekar di sepanjang zaman.

Layaknya film, memang ada tokoh-tokoh protagonis yang berperan besar memajukan NU –seperti Hadlratus SyaikhHasyim Asyari hingga Hasyim Muzadi–, ada pula tokoh-tokoh antagonis yang tidak henti-hentinya merongrong NU–seperti oknum-oknum yang hanya “mencari makan” di NU, bukan “memberi makan” NU.

Sebagai penutup, warga NU dapat menunjukkan peran protagonis bagi NU melalui berbagai ragam cara, sebagaimana prolog tulisan ini. Mudin yang melestarikan tradisi talqin mayat di daerah tempat tugasnya adalah protagonis NU.

Imam shalat yang rajin membaca qunut ketika shalat shubuh dan melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah protagonis NU. Muadzin yang menunggu iqamah dengan melantunkan pujian-pujian Jawa-Islami –seperti syair Tombo Ati– atau shalawat Nabi adalah protagonis NU.

Pengusaha yang dermawan membantu program-program sosial-masyarakat warga NU adalah protagonis NU. Pejabat yang kebijakan-kebijakannya pro rakyat jelata adalah protagonis NU.

Kiai, ustadz, dosen dan guru yang menginternalisasikan ajaran Islam ala NU kepada generasi muda adalah protagonis NU. Dai dan masyarakat yang rajin mengikuti majlis talim, majlis dzikir dan shalawat versi NU adalah protagonis NU. Penulis yang menyebarkan gagasan-gagasan Islam khas NU adalah protagonis NU.

Pertanyaan pamungkasnya, apakah kita sudah pantas menyandang status sebagai “protagonis NU”? Tidak perlu dijawab melalui hati, apalagi lisan, cukup buktikan dengan aksi di gelanggang kehidupan! Wallahu Alam bi al-Shawab. (*)

*Penulis Dr. Rosidin, M.Pd.I. Dosen STAIMA Al-Hikam MAlang