MENGGAPAI PAHALA DUNIAWI-UKHRAWI
Tafsir Tarbawi
Malang, 28 Maret 2023
Dr. Rosidin
(Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang)
1. Kata "man" merupakan isim mubham yang bermakna umum ('Amm), sehingga mencakup segala jenis manusia. Akan tetapi, konteks ayat meniscayakan penyempitan makna pada umat muslim saja. Kemudian umat muslim yang dimaksud di sini mencakup laki-laki maupun wanita. Inilah contoh prinsip keadilan dalam Islam, yang memberikan kesempatan kepada laki-laki maupun wanita, tanpa ada unsur diskriminatif.
2. Kendati sama-sama bermakna "kehendak", kata Yuridu berbeda dengan Yasya'u. Yuridu berarti suatu kehendak yang bersifat "potensial", sehingga bisa terjadi atau tidak terjadi. Misalnya, "Allah SWT menghendaki kemudahan, bukan kesulitan" (Q.S. al-Baqarah [2]: 185). Ternyata, ada manusia yang hidupnya dimudahkan, ada pula yang hidupnya mengalami kesulitan. Sedangkan Yasya'u berarti suatu kehendak yang bersifat "aktual", entah sesuai harapan maupun tidak sesuai. Misalnya, "Seseorang berkehendak menghadiri suatu acara esok hari". Maka apapun realita yang terjadi, merupakan kehendak Allah SWT (Q.S. al-Takwir [81]: 29). Entah dia hadir atau absen. Entah ada alasan atau tanpa alasan.
3. Pada dasarnya, "tsawab" itu bermakna "kembali". Pahala atau balasan disebut dengan "tsawab", karena efek perbuatan manusia, akan kembali kepadanya, baik di dunia dan/atau di akhirat. Dalam konteks ini, manusia akan melihat efek perbuatannya, sekalipun seberat dzarrah (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8). Misalnya, satu jam yang digunakan untuk mengaji, tentu efeknya berbeda dengan satu jam yang digunakan untuk ngerumpi. Demikian halnya, tidak akan sama efeknya antara pelajar yang hadir di majlis ilmu, dengan pelajar yang absen di majlis ilmu. Masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai amal perbuatannya (Q.S. al-An'am [6]: 132).
4. Penyebutan "tsawabad-dunya" mengisyaratkan bahwa banyak manusia yang mengharapkan efek instan dari perbuatannya. Termasuk efek instan adalah menautkan segala perbuatannya dalam konteks kehidupan dunia semata, tanpa menautkannya dengan kehidupan akhirat. Misalnya, tujuan bersekolah hanya ingin mendapat nilai tertinggi, agar dapat masuk ke kampus favorit, sehingga kelak mendapatkan pekerjaan elit dengan penghasilan selangit. Demikian halnya, tujuan sedekah hanya untuk menarik simpati masyarakat, agar mereka memilihnya saat pemilu, sehingga kelak mendapatkan jabatan publik dengan reputasi nomor satu.
5. Al-Qur'an mengajarkan agar orientasi segala aktivitas manusia adalah Allah SWT. Karena sesungguhnya Allah SWT Yang Maha Berkuasa untuk memberikan efek suatu perbuatan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa "setiap amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai niatnya". Jika niat melakukan sesuatu demi tujuan-tujuan instan seperti mendapatkan pasangan atau keduniaan, maka hanya itu saja bagiannya. Namun, apabila niat melakukan sesuatu demi ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka Allah SWT akan memberikan balasan yang akan dikembalikan kepadanya, baik di dunia maupun akhirat. Contoh sederhana, orang yang puasa Ramadhan itu berniat karena Allah SWT (sebagaimana terucap dalam niat puasa), sehingga efeknya duniawi-ukhrawi. Berbeda halnya dengan orang yang berpuasa dengan niat diet atau kepentingan medis, maka hanya "efek kesehatan" yang diperolehnya.
6. Allah SWT Maha Mendengar (Sami') mengisyaratkan pentingnya doa dalam konteks meraih cita-cita yang diharapkan. Dalam Islam, apabila seseorang ingin meraih kesuksesan dalam bidang tertentu, dia disarankan untuk berdoa memohon kepada Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mendengar. Apalagi Allah SWT berjanji akan mengabulkan doa para hamba-Nya, asalkan mereka benar-benar berdoa kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 186). Di bulan Ramadhan ini, salah satu waktu terbaik untuk berdoa adalah waktu sahur dan berbuka puasa. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa doa orang yang berbuka puasa, merupakan doa mustajab. Oleh sebab itu, saat berbuka puasa, maksimalkanlah untuk banyak-banyak berdoa, bukan malah menambah makanan-minuman hingga bersendawa.
7. Allah SWT Maha Melihat (Bashir) mengisyaratkan pentingnya ikhtiar (usaha terbaik) dalam merealisasikan cita-cita. Dalam bait nazham Alala disebutkan:
تَمَنَّيْتَ اَنْ تُمْسِىَ فَقِيْهًا مُنَاظِرًا ۞ بِغَيْرِ عِنَــــاءٍ وَالْجُنُـــوْنُ فُـنُوْنُ
SIRO KEPINGIN DADI ALIM FIQIH KANG WICORO # TANPO KANGELAN, EDAN IKU WERNO-WERNO
Artinya, orang yang bercita-cita ingin menjadi ahli agama terkemuka, namun malas belajar dan tidak mau berkorban, merupakan salah satu jenis "penyakit gila". Di sisi lain, karena Allah SWT itu Maha Mengetahui, maka ikhtiar yang kita lakukan, seyogianya tidak bertujuan riya' (pamer) yang hanya ingin diapresiasi oleh manusia; melainkan bertujuan ikhlas, yaitu ingin diapresiasi oleh Allah SWT di dunia dan akhirat.