TRADISI SURO DALAM BINGKAI ISLAM
  • Admin
  • 21 September 2017
  • 5109 x
artikel

Kontras dengan perayaan tahun baru Masehi yang gegap gempita dengan berpesta-pora khas budaya Barat, peringatan tahun baru Hijriyah justru diisi aktivitas instropeksi diri (muhasabah) dalam suasana hening khas tradisi Islam Nusantara, seperti tidak tidur semalam (melekan) hingga puasa bicara (tapa bisu). Pada umumnya, umat muslim Nusantara merayakan tahun baru Hijriyah dengan aneka amal ibadah, seperti membaca al-Qur’an, berdzikir dan berdoa. Misalnya, doa akhir tahun yang dibaca tiga kali di penghujung waktu shalat Ashar tanggal 30 Dzulhijjah; dan doa awal tahun yang dibaca tiga kali setelah shalat Maghrib tanggal 1 Muharram. Menurut KH. Sholeh Darat (1820-1903 M), manfaat doa akhir dan awal tahun bagi pembacanya adalah terhindar dari godaan setan sepanjang tahun, karena Allah SWT menganugerahkan dua malaikat yang menjaga orang tersebut agar tidak digoda oleh setan.

Polemik terkait peringatan tahun baru Hijriyah muncul, ketika dikaitkan dengan budaya Nusantara, terutama Jawa. Dalam Islam-Jawa, Muharram dikenal dengan sebutan ‚Suro‛ atau ‚Sura‛. Kata ‚Suro‛ pertama kali muncul dalam Kalender Jawa yang digagas Sultan Agung (1613-1645 M) untuk menggantikan Kalender Saka versi Hindu. Kalender Jawa tersebut mengacu pada Kalender Hijriyah dan dimulai tanggal 1 Suro tahun Alip 1555, yang bertepatan dengan 1 Muharram 1043 H atau 8 Juli 1633 M. Sebenarnya, kata ‚Suro‛ diambil dari salah satu nama hari yang paling dimuliakan di bulan Muharram, yaitu hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Dari sini, muncul tradisi perayaan malam 1 Suro.

Ada tiga kategori tradisi menyambut malam 1 Suro. Pertama, tradisi yang kental nuansa Jawa murni, tanpa ada sangkut-pautnya dengan ajaran Islam. Misalnya, perayaan malam 1 Suro di Solo atau Surakarta yang diisi dengan kirab benda-benda pusaka seperti keris; dengan menyertakan kebo bule (kerbau berwarna putih agak kemerahan) Kiai Slamet yang dikeramatkan oleh masyarakat Solo, karena ‚leluhurnya‛ dulu merupakan hadiah pemberian Kiai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.

Kedua, tradisi yang memadukan antara nuansa Jawa dengan ajaran Islam. Misalnya, bubur suro yang disajikan menjelang datangnya tanggal 1 Suro, atau bahkan tanggal 10 Suro. Posisi bubur suro ini identik dengan posisi ketupat yang merupakan kuliner khas Nusantara pada momen lebaran Idul Fitri; sehingga tidak bisa dimaknai sebagai sesajen yang tergolong perilaku syirik, semisal larung sesaji di Laut Selatan Jawa untuk meminta perlindungan kepada Nyi Roro Kidul selaku ‚Penguasa Laut Selatan‛ agar tidak mengganggu atau menimpakan bencana kepada masyarakat, terutama nelayan. Adapun nuansa Islami pada bubur suro terletak pada aspek sedekah, karena bubur suro tersebut dibagi-bagikan kepada sanak famili dan tetangga. Inilah contoh penerapan ajaran Islam yang bersifat universal (ajaran bersedekah), dalam bingkai budaya Jawa yang bersifat lokal (bubur suro).

Ketiga, tradisi yang kental dengan ajaran Islam murni, tanpa ada sangkut pautnya dengan budaya Jawa. Misalnya, Puasa ‘Asyura’ (10 Muharram) yang didasarkan pada Hadis shahih yang tercantum dalam Kutub al-Tis’ah (Shahih Bukhari; Shahih Muslim; Musnad Ahmad; al-Muwaththa’ Imam Malik; Sunan Abi Dawud; Sunan al-Tirmidzi; Sunan al-Nasa’i; Sunan Ibnu Majah; Sunan al-Darimi). Imam Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin menyarankan agar umat muslim menyertai puasa ‘Asyura’ dengan puasa sehari

sebelumnya, yaitu puasa Tasu’a’ (9 Muharram), atau sehari sesudahnya (11 Muharram), agar berbeda dengan tradisi kaum Yahudi yang hanya berpuasa ‘Asyura’. Pendapat ini selaras dengan Hadis riwayat Ibnu ‘Abbas RA dalam Musnad Ahmad. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menyatakan sunah berpuasa 10 hari pertama dari bulan Muharram. Bahkan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menyebut bahwa Muharram merupakan bulan yang paling utama untuk berpuasa, setelah bulan Ramadhan, sebagaimana keterangan dalam Hadis riwayat Muslim. Sehingga diperkenankan untuk berpuasa sebulan penuh di bulan Muharram ini.

Lalu bagaimana sikap yang bijaksana dalam menanggapi ketiga kategori tradisi Suro di atas? Pertama, perlu memahami perbedaan antara ajaran Islam yang masih murni, sehingga bersifat universal; dengan ajaran Islam yang sudah bercampur dengan budaya tertentu, sehingga bersifat lokal. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, terdapat perbedaan penting antara konsep al-khair (kebaikan universal) dengan al-ma’ruf (kearifan lokal). Al-Khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan al-ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat, dan sejalan dengan nilai-nilai Ilahi yang bersifat universal (al-khair). Apabila bertentangan dengan al-khair, maka disebut al-munkar (keburukan lokal). Dari sini dapat dipahami bahwa sedekah merupakan contoh al-khair; bubur suro yang disedekahkan merupakan contoh al-ma’ruf; sedangkan larung sesaji ke laut adalah contoh al-munkar.

Kedua, perlu membedakan antara ajaran Islam yang disyariatkan secara khusus oleh Rasulullah SAW, seperti puasa hari ‘Asyura’; dengan ajaran Islam yang disyariatkan secara umum oleh Rasulullah SAW, kemudian dilaksanakan oleh para ulama maupun masyarakat muslim dalam bentuk khusus, seperti doa akhir tahun dan awal tahun. Memang Rasulullah SAW tidak pernah berdoa akhir tahun dan awal tahun Hijriyah, mengingat Kalender Hijriyah baru diresmikan pada masa Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab RA; namun secara umum Rasulullah SAW mengajarkan umat muslim agar berdoa dalam setiap kesempatan, semisal berdoa setiap kali melihat hilal yang menjadi tanda awal bulan baru dengan doa berikut: Allahumma ahlilhu ‘alaina bil-yumni, wal-imani, was-salamati, wal-Islami, Rabbi wa Rabbuka-llahu yang berarti: Ya Allah, perlihatlah bulan ini kepada kami dengan kebahagiaan, keimanan, keselamatan dan keIslaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah” (H.R. al-Tirmidzi dengan status Hasan). Pemahaman ini perlu diterapkan ketika memandang amaliah-amaliah khas bulan Suro (Muharram), seperti Membaca Surat al-Ikhlas 1000 kali; Membaca hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir 70 kali pada malam ‘Asyura; Shalat hajat; Silaturrahim; Mandi; Mengunjungi ulama atau berziarah ke makam ulama; Menjenguk orang sakit; Mengusap kepala anak yatim; Memperluas nafkah keluarga; Memotong kuku; dan sebagainya. Dengan demikian, kita tidak mudah terjebak dengan klaim-klaim dangkal seperti ‚syirik‛ dan ‚bid’ah sesat‛.

Ketiga, prinsip utama dalam bulan haram seperti Muharram (Suro) adalah pelipat-gandaan. Artinya, amal shalih akan berlipat-ganda pahalanya; sedangkan kemaksiatan akan berlipat-ganda dosanya. Oleh sebab itu, amaliah utama yang seharusnya dilakukan di bulan haram adalah menjauh dari perbuatan zhalim dan mendekat pada perbuatan takwa (Surat al-Taubah [9]: 36). Wallahu A’lam bi al-Shawab. (Oleh Dr. Rosidin, M.Pd.I. Alumni STAIMA Al-HikamMalang)