NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN INDONESIA
illustrasi
NIKAH SIRI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN INDONESIA
Ainul Yaqin,
Ermi Hidayati BR Dhuha
STAI Ma’had Aly
Al-Hikam Malang
Abstrak
Secara hukum, pernikahan siri tidak disebutkan secara khusus. Tapi pada
kenyataannya masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah Indonesia
telah mengatur tatacara pernikahan melalui undang- undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 yang menyebutkan bahwa setiap pernikahan harus dicatatkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia ada aturan yang
mewajibkan untuk mencatatkan pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan
tujuan agar pernikahan kedua pasangan memiliki perlindungan hukum jika terjadi
hal yang tidak diinginkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
dengan jenis penelitian library research atau studi pustaka, data yang
dikumpulkan sebagai sumber utama yaitu buku, artikel dan website sebagai dasar
penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan siri adalah
pernikahan yang tidak tercatat di KUA seperti yang telah tercantum dalam UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Dalam madzhab Syafi’i nikah siri adalah pernikahan yang
tidak di hadiri oleh dua orang saksi, artinya pernikahan ini tidak sah. Nikah
siri juga memiliki dampak yang tidak hanya kepada suami dan istri tetapi pada
anak, karena tidak memiliki bukti otentik pernikahan.
Kata kunci : Nikah Siri;
Hukum Islam; UU Perkawinan
Abstract
Legally, serial
marriage is not specifically mentioned. But in reality it can still be found in
some regions in Indonesia. The Indonesian government has regulated marriage
procedures through Marriage Law Number 1 of 1974 which states that every
marriage must be recorded in the applicable laws and regulations. In Indonesia,
there is a rule that requires marriage to be registered with the Religious
Affairs Office (KUA). With the aim that the marriage of both couples has legal
protection in case of unwanted things. This study uses a qualitative approach,
with the type of library research or literature study, the data collected as
the main source is books, articles and websites as the basis for research. The
results of the study show that serial marriage is a marriage that is not
recorded in the KUA as stated in Marriage Law Number 1 of 1974. In madzhab Shafi'i, nikah siri is a marriage
that is not attended by two witnesses, meaning that this marriage is invalid.
Nikah siri also has an impact not only on husband and wife but on children,
because it does not have authentic evidence of marriage.
Keywords : Siri
Marriage; Islamic Law; Marriage Law
PENDAHULUAN
Dalam Islam, pernikahan merupakan akad sosial yang bercirikan Ijab
Kabul. Pernikahan, seperti halnya perbuatan manusia lainnya, mempunyai nilai
ibadah jika pelaksanaannya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Persoalan pernikahan bukanlah sesuatu yang final, meskipun Nabi Muhammad telah
menyebutkan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Permasalahan tersebut juga
mencakup permasalahan pernikahan siri.
Sehingga menimbulkan perdebatan dan mengundang kontroversial.
Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak disebutkan secara tegas
dalam Undang-Undang. Namun pada kenyataannya, pernikahan yang tidak tercatat
merupakan tindak pidana bagi orang yang bersangkutan, karena mereka tidak
terdaftar secara resmi pada perantara pernikahan dan dapat dikenakan sanksi. (Burhanuddin, 2012)
Di Indonesia, pernikahan secara siri masih dapat ditemukan. Di
daerah seperti di Jombang, hingga Juni ada 7 kasus yang dilakukan oleh remaja
yang berusia di bawah 20 tahun. Menurut data yang dihimpun oleh Jawa Pos Radar
Jombang, pengajuan dispensasi tercatat ada 140 kasus yang telah diputus oleh
Pengadilan Agama Jombang dari 147 kasus terhitung sepanjang bulan Januari
hingga bulan Juni 2024. (Rosalina, 2024) Di daerah lain, di Kabupaten Nunukan
Provinsi Kalimantan Utara, perkara pernikahan siri mencapai 233 kasus pada
tahun 2023, sementara pada tahun 2024 Pengadilan Agama Nunukan mencatat ada 145
kasus terhitung hingga bulan Agustus.
Hukum di Indonesia mengatur tata cara pernikahan yang sah menurut
Agama Islam dan sah menurut Hukum Negara yang telah diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:”Tiap-tiap pernikahan harus
dicatat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam situasi saat ini, khususnya di Indonesia, peraturan ini
menambahkan kewajiban pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada kedua pasangan jika
terjadi peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari. (Riyanto, 2018)
TINJAUAN
PUSTAKA
Pernikahan siri merupakan pernikahan yang dilakukan secara rahasia.
Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang
artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ‘alaniyyah,
yaitu terang-terangan. Kata siri ini kemudian digabung dengan kata nikah
sehingga menjadi nikah siri untuk menyebutkan bahwa nikah yang dilakukan secara
diam- diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan
dua pemahaman, yaitu pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak
ramai atau pernikahan yang tidak diketahui atau tidak tercatat di lembaga
negara. (Syamdan & Purwoatmodjo, 2019)
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Sahri & Arif, 2018)
Pernikahan yang tidak dicatatkan sebagaimana dikenal dalam
masyarakat Indonesia saat ini adalah pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi
rukun dan syarat yang ditetapkan oleh agama. Namun, ini bukanlah pernikahan
yang dilakukan di hadapan pencatat sebagai pejabat pemerintah yang sah, dan
juga bukan pernikahan yang tidak dicatatkan di Kementerian Agama bagi yang
beragama Islam, dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non-Islam.
Muslim. Muslim. Oleh karena itu, kami tidak memiliki surat nikah yang
dikeluarkan pemerintah.. Sehingga tidak mempunyai surat nikah yang dikeluarkan
oleh pemerintah. (Burhanuddin, 2012)
Pernikahan rahasia memiliki banyak makna dalam masyarakat.
Pertama-tama; pernikahan tanpa perwalian. Kadang-kadang pernikahan semacam itu
dilakukan secara rahasia oleh orang lain karena wali calon pengantin perempuan
tidak menyetujui atau mengakui keabsahan pernikahan tersebut. Perkawinan yang
demikian itu tidak sah, karena perwalian merupakan salah satu rukun perkawinan
yang sah. Kedua, perkawinan rahasia adalah perkawinan yang diakui sah secara
agama tetapi dicatat di kantor pencatatan perkawinan. (Kharisudin, 2021)
METODE
PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Metode penelitian adalah pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah
atau mengintegrasikan pengetahuan dengan menggunakan pendekatan ilmiah untuk
mencapai tujuan tertentu. Ini melibatkan aktivitas seperti pengumpulan data,
pencatatan, perumusan, analisis, dan penyusunan laporan berdasarkan fakta yang
dikumpulkan secara sistematis.
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian library reseacrh
atau studi pustaka. Penulis mengumpulkan teori dari berbagai sumber, seperti
buku, artikel dan website sebagai dasar penelitian. Data yang dikumpulakan
mengacu pada literatur yang relavan. Dalam konteks ini penulis lebih berfokus
pada hukum nikah siri dalam perspektif hukum Islam dan negara yang mana
fenomena ini masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah Siri
Menurut istilah adalah suatu perjanjian atau akad yang menghalalkan
persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata nikah
atau yang menunjukkan arti nikah. Kata zawwaj pada awal penggunaannya
berartikan pasangan, Akan tetapi arti yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah
perkawinan. Allah swt menjadikan manusia berpasang-pasangan, menghalalkan
perkawinan dan mengharamkan zina. Nikah menurut syariat selain diartikan
sebagai akad juga diartikan sebagai hubungan badan dan itu hanya metafora saja. (Riyanto, 2018)
Ulama Madzhab Syafi’i mendefinisikan dengan: Akad yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafazh nikah/kawin atau yang
semakna dengan itu. Sedangkan ulama Hanafiah memberikan definisi: “Akad yang
memfaidahkan halalnya hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang
wanita selama tidak ada halangan Syara”. Sedangkan menurut KHI yang mengatur
tentang munakahat dalam buku I hukum perkawinan. Pasal 2 KHI menyatakan bahwa
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksankannya adalah
ibadah”.
Menurut Madzhab Hanbali: “nikah adalah akad perkawinan atau akad
yang diungkapkan di dalamnya kata nikah atau kawin, atau yang semakna
dengannya”. Menurut Madzhab Hanbali: “rukun nikah ada tiga, yaitu kedua
mempelai (suami istri), ijab, dan qabul”. (Faishal Agil Al Munawar, 2020)
Sedangkan pengertian Nikah Siri yang berkembang di masyarakat
adalah nikah di bawah tangan; yaitu sebuah proses pernikahan sesuai dengan
aturan dan ketentuan yang berlaku dalam Islam (seperti adanya wali, saksi dan
ijab qabul, hanya saja tidak dilakukan pencatatan pada Kantor Urusan Agama
(KUA) sebagai petugas resmi dari kantor Kementerian Agama bagi mereka yang
melakukan perkawinannya menurut agama Islam, dan pada kantor sipil bagi yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam. (Sobari, 2013)
B.
Pandangan Islam dan Negara Tentang Nikah Siri
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan syarat-syarat
dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab-kabul, wali dan saksi-saksi. Akan
tetapi mereka (suami-istri, wali dan saksi) bersepakat untuk merahasiakan
pernikahan ini dari masyarakat. Dalam hal ini, sering pihak lelakilah yang
berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang
terjadi.
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama
memandang pernikahan seperti ini sah Akan tetapi hukumnya adalah makruh.
Hukumnya sah dan resmi menurut agama karena sudah memenuhi rukun dan syarat
pernikahan serta adanya dua saksi sehingga unsur kerahasiaannya hilang. Adapun
sisi kemakruhannya adalah disebabkan adanya perintah Rasulullah SAW., untuk
mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Hal itu dilakukan untuk
menghilangkan unsur yang berpotensial mengundang keragu-raguan serta tuduhan
tidak benar (seperti kumpul kebo misalnya) pada keduanya. Sebagaimana sabda
Rasullah SAW yang artinya: “tampakkanlah pernikahan ini dan laksanakan di
masjid-masjid serta pukullah terbang atasnya.” (HR al- Tirmidzi).
Di Indonesia ada tiga makna dari "Nikah Siri". Yang
pertama, Nikah yang telah dihadiri wali, saksi dan tentu kedua mempelai, namun
ada kesepakatan diantara mereka untuk merahasiakan perkawinan itu. Yang kedua,
Nikah yang hanya dihadiri oleh dua orang, suami-istri aja, alias nikah tanpa
wali, tanpa saksi. Yang ketiga, nikah siri ala Indonesia, yaitu nikah yang
telah dihadiri wali, saksi, dan juga rayakan melalui walimah, dikenal di
masyarakat, namun pernikahan itu tidak dicatatkan di catatan sipil. Nikah Siri
model pertama dan ketiga, semua ulama klasik menyatakan sah. Sedangkan Nikah
Siri model kedua, hampir semua ulama (khususnya empat madzhab) menyatakan
Haram.
Fatwa MUI No 10 Tahun 2008 Tentang Nikah di Bawah Tangan menyatakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut: Ketentuan umum yaitu nikah di bawah tangan
yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Sementara itu, ketentuan hukum yang pertama, pernikahan di bawah
tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram
jika terdapat madharrat. Kedua, pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada
instansi berwenang, sebagai
langkah preventif untuk
menolak dampak negatif
madharrat (saddan lidz-dzari’ah). Dalam fatwa yang ditandatangani di Jakarta,
17 September 2008 ini, MUI mengambil dalil dari kaidah fiqih sebagai rujukan
yang berbunyi:
”درء
المفاسد مقدم علي جلب المصالح ”
“Mencegah
kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada mengambil kemaslahatan.”
Terdapat beberapa Komunitas Muslim yang tergabung di Indonesia yang
tidak menerapkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Masih banyak dari
Muslim yang melangsungkan pernikahan tanpan didaftarkan kepada Petugas Pencatat
Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) terdekat, hal yang demikian disebut
sebagai nikah “siri” atau nikah dibawah tangan. (Hanapi, 2024)
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan lagi di KUA. Setiap orang yang
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana
perkawinannya kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan Akan dilangsungkan,
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pernikahan siri atau pernikahan dibawah tangan yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan. Jadi perkawinan siri adalah sah
menurut agama akan tetapi tidak sah menurut Undang-Undang, karena tidak
memiliki kekuatan hukum yang dapat digunakan sebagai bukti otentik telah
berlangsungnya sebuah perkawinan. (Syamdan & Purwoatmodjo, 2019)
Nikah siri dalam syariat dianggap sah pernikahannya namun dalam
aturan hukum positif Indonesia belum di anggap sah. Sehingga timbullah
pandangan dari pengkaji ilmu fikih, khususnya dari kalangan imam madzab
Syafi’i. Menurut madzab Syafi’i Nikah Siri adalah “Nikah sirri adalah:
pernikahan yang tidak dihadiri oleh dua saksi (akad nikah yang tidak ada
saksinya)” Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam pasal 4 menyatakan bahwa,
“Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Pernikahan (Depertemen
Agama RI, 2001). Madzab Syafi’i sepakat melarang pernikahan siri dikarenakan
adanya rukun-rukun pernikahan yang tidak lengkap atau tidak sempurna seperti
tidak adanya dua orang saksi, tidak ada persetujuan dari mempelai wanita,
keluarga dan dirahasiakan dari masyrakat. (Sahri & Arif, 2018)
Adapun dasar hukum yang melarang pernikahan ini dilaksanakan adalah
Hadits Rasulullah Saw., Beliau bersabda:”Dari ‘Aisyah r.a., dari Nabi Muhammad
Saw., beliau bersabda,”Tidak sah nikah, melainkan dengan wali dan dua orang
saksi yang adil.”
C.
Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Nikah Siri
Ada banyak alasan berbeda mengapa orang memasuki pernikahan
rahasia. Beberapa orang menikah karena alasan keuangan. Sebagian pemuda tidak
sanggup untuk membiayai pesta adat dan tidak sanggup untuk menyediakan tempat
tinggal serta harta bersama, sehingga memilih menikah secara mish-al asalkan
halal. Ini terjadi di sebagian besar negara Arab. Selain itu, biaya pencatatan
pernikahan di KUA sangat mahal sehingga ada yang tidak mampu melakukannya,
sementara ada pula yang mampu namun takut pernikahannya diketahui publik.
Mereka akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar resmi ke KUA atau Catatan
Sipil. Hal ini untuk menutupi jejak dan melindungi mereka dari tuntutan hukum
serta sanksi administratif dari atasannya, khususnya dalam kasus perkawinan
kedua atau selanjutnya (antara PNS dengan TNI). Pernikahan di Bethel terjadi
karena beberapa alasan. 1) kehamilan di luar nikah, 2) tidak adanya
izin/persetujuan istri, 3) faktor ekonomi, 4) kurangnya pengetahuan istri, dan
5) kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat. 6) Kesulitan dalam mengatur
hukum poligami dalam pencatatan perkawinan. (Erlina, 2017)
Faktor lain yang turut menyebabkan terjadinya perkawinan yang tidak
tercatat adalah tidak terpenuhinya persyaratan administratif sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan atau peraturan teknis yang mendasarinya.
Misalnya, calon pengantin perempuan dan laki-laki yang belum mencapai usia
dewasa untuk menikah, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi
laki-laki. Setelah upaya mereka untuk
mendapatkan pengakuan pernikahan di Pengadilan Agama (PA) gagal, mereka
terpaksa melakukan pernikahan siri sebagai jalan terakhir. (Khoiriyah, 2017)
D.
Dampak Pernikahan Siri
Kedudukan isteri dalam pernikahan siri menurut hukum atau
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga dalam Kompilasi
Hukum Islam. Bahwa pernikahan siri tidak dikenal dan tidak diakui dalam negara,
maka pernikahan tersebut tidak mempunyai hak perlindungan hukum. Hak
isteri Mau pun suami dapat dilindungi
oleh Undang-Undang setelah memiliki alat bukti otentik tentang pernikahannya.
Dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menyatakam bahwa: “Setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah”. Sehingga perkawinan siri tidak memiliki kekuatan hukum karena
perkawinannya tidak dicatat atau tidak dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah. Perkawinan siri bahkan dianggap sebagai suatu pelanggaran, sebagaimana
terdapat dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (Syamdan & Purwoatmodjo, 2019)
Nikah siri tidak hanya berdampak pada suami dan istri. Namun dapat
berdampak kepada anak dan keluarga besarnya secara psikologis dan sosial.
Pernikahan siri atau pernikahan yang tidak tercatat menimbulkan akibat hukum
dan ekses pada beberapa pihak yang terkait.
Secara hukum Perkawinan siri berdampak sangat merugikan bagi isteri
dan perempuan di antaranya; a) Istri tidak dianggap sebagai istri sah; b) Istri
tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia; c)
Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara
hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Sedangkan secara
sosial istri sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan
siri atau perkawinan di bawah tangan ini sering dianggap telah tinggal serumah
dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau isteri tersebut dianggap menjadi
isteri simpanan.
Akibat hukum yang lain dari perkawinan siri terhadap anak adalah
anak tidak dapat mengurus akta kelahiran. Hal itu dapat dilihat dari permohonan
akta kelahiran yang diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Salah satu syaratnya,
harus menunjukan akta nikah orang tua anak tersebut. Dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan:
“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan Status
kewarganegaraan”. Maka di dalam akta kelahiran anak itu statusnya dianggap
sebagai anak luar nikah, tidak tertulis Nama ayah kandungnya dan hanya tertulis
ibu kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak
tercatatnya Nama ayah berdampak negatif secara sosial dan psikologis bagi anak
dan ibunya. (Andi Muhammad Akmal, 2021)
KESIMPULAN
Pernikahan siri, yang dilakukan tanpa pencatatan resmi di kantor
pencatat nikah (KUA) atau kantor catatan sipil, masih ditemukan di beberapa
daerah di Indonesia, meskipun tidak diatur secara khusus dalam hukum. Secara
syariat Islam, pernikahan siri dianggap sah jika memenuhi rukun dan syarat yang
ditetapkan, seperti ijab qabul, adanya wali, dan saksi. Namun, menurut hukum
Indonesia, pernikahan siri tidak sah karena tidak tercatat secara resmi, yang
mengakibatkan tidak adanya perlindungan hukum bagi suami, istri, dan anak yang
lahir dari pernikahan tersebut. Dampak sosial dan psikologis dari pernikahan
siri juga cukup besar, terutama bagi istri yang tidak diakui sebagai istri sah,
serta bagi anak yang statusnya bisa dianggap sebagai anak luar nikah. Oleh
karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pencatatan pernikahan
adalah hal yang wajib agar memperoleh perlindungan hukum yang sah sesuai dengan
undang-undang yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Muhammad Akmal, M. J. A. (2021). PROBLEMATIKA
NIKAH SIRI, NIKAH ONLINE DAN TALAK SIRI SERTA IMPLIKASI HUKUMNYA DALAM FIKIH
NIKAH .
Burhanuddin. (2012). NIKAH SIRI:
Menjawab semua pertanyaan tentang Nikah Siri . MedPress Digital.
Erlina, T. (2017). NIKAH SIRI DAN
KORUPSI . 1–23. http://repository.unigal.ac.id/handle/123456789/405
Faishal Agil Al Munawar. (2020). Telaah
Fatwa tentang Nikah Siri. Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam , 4 (1),
55–63. https://doi.org/10.35316/istidlal.v4i1.210
Hanapi, A. (2024). PERLINDUNGAN ANAK
DARI NIKAH SIRI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA . 12 .
Kharisudin, K. (2021). Nikah Siri Dalam
Perspektif Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Indonesia. Perspektif ,
26 (1), 48–56. https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i1.791
Khoiriyah, R. (2017). Perempuan dan
Anak Dalam Nikah Siri . 12 , 407.
Riyanto, M. H. (2018). Nikah Siri : Apa Sih Hukumnya ? Pa-Soreang.Go.Id ,
1–17. https://pa-soreang.go.id/images/pdfs/Artikel/Nikah Siri Apa Sih
Hukumnya.pdf
Sahri, A., & Arif, S. (2018).
Kedudukan Hukum Nikah Siri Menurut Madzhab Syafi’i dan Maliki. Mizan:
Journal of Islamic Law , 1 (1), 93–122.
https://doi.org/10.32507/mizan.v1i1.119
Sobari, A. (2013). Nikah Siri Dalam
Perspektif Islam. Mizan: Journal of Islamic Law , 1 (1), 49–56.
https://doi.org/10.32507/mizan.v1i1.117
Syamdan, A. D., & Purwoatmodjo, D.
(2019). Aspek Hukum Perkawinan Siri dan Akibat Hukumnya. Notarius , 12 (1),
452–466.
https://www.rri.co.id/index.php/daerah/951459/angka-pernikahan-siri-di-nunukan-menurun,
diakses tgl 14 oktober 2024
https://jabar.nu.or.id/ngalogat/nikah-sirri-1KNHI
diakses tgl 14 Oktober 2024
https://mirror.mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/muamalah/40468/nikah-siri-bisa-dihukumi-haram-ini-penjelasan-dan-argumentasinya/
diakses tgl 15 Oktober 2024