NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN INDONESIA



illustrasi

NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN INDONESIA

 

Ainul Yaqin, Ermi Hidayati BR Dhuha

STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang

ayaqin955@gmail.com ermihidayati5082000@gmail.com

 

Abstrak

Secara hukum, pernikahan siri tidak disebutkan secara khusus. Tapi pada kenyataannya masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengatur tatacara pernikahan melalui undang- undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa setiap pernikahan harus dicatatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia ada aturan yang mewajibkan untuk mencatatkan pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan tujuan agar pernikahan kedua pasangan memiliki perlindungan hukum jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian library research atau studi pustaka, data yang dikumpulkan sebagai sumber utama yaitu buku, artikel dan website sebagai dasar penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan siri adalah pernikahan yang tidak tercatat di KUA seperti yang telah tercantum dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dalam madzhab Syafi’i nikah siri adalah pernikahan yang tidak di hadiri oleh dua orang saksi, artinya pernikahan ini tidak sah. Nikah siri juga memiliki dampak yang tidak hanya kepada suami dan istri tetapi pada anak, karena tidak memiliki bukti otentik pernikahan.

Kata kunci: Nikah Siri; Hukum Islam; UU Perkawinan

 

Abstract

Legally, serial marriage is not specifically mentioned. But in reality it can still be found in some regions in Indonesia. The Indonesian government has regulated marriage procedures through Marriage Law Number 1 of 1974 which states that every marriage must be recorded in the applicable laws and regulations. In Indonesia, there is a rule that requires marriage to be registered with the Religious Affairs Office (KUA). With the aim that the marriage of both couples has legal protection in case of unwanted things. This study uses a qualitative approach, with the type of library research or literature study, the data collected as the main source is books, articles and websites as the basis for research. The results of the study show that serial marriage is a marriage that is not recorded in the KUA as stated in Marriage Law Number 1 of 1974.  In madzhab Shafi'i, nikah siri is a marriage that is not attended by two witnesses, meaning that this marriage is invalid. Nikah siri also has an impact not only on husband and wife but on children, because it does not have authentic evidence of marriage.

Keywords: Siri Marriage; Islamic Law; Marriage Law

 

PENDAHULUAN

Dalam Islam, pernikahan merupakan akad sosial yang bercirikan Ijab Kabul. Pernikahan, seperti halnya perbuatan manusia lainnya, mempunyai nilai ibadah jika pelaksanaannya bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Persoalan pernikahan bukanlah sesuatu yang final, meskipun Nabi Muhammad telah menyebutkan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Permasalahan tersebut juga mencakup permasalahan pernikahan siri.  Sehingga menimbulkan perdebatan dan mengundang kontroversial.

Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak disebutkan secara tegas dalam Undang-Undang. Namun pada kenyataannya, pernikahan yang tidak tercatat merupakan tindak pidana bagi orang yang bersangkutan, karena mereka tidak terdaftar secara resmi pada perantara pernikahan dan dapat dikenakan sanksi.(Burhanuddin, 2012)

Di Indonesia, pernikahan secara siri masih dapat ditemukan. Di daerah seperti di Jombang, hingga Juni ada 7 kasus yang dilakukan oleh remaja yang berusia di bawah 20 tahun. Menurut data yang dihimpun oleh Jawa Pos Radar Jombang, pengajuan dispensasi tercatat ada 140 kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Jombang dari 147 kasus terhitung sepanjang bulan Januari hingga bulan Juni 2024. (Rosalina, 2024) Di daerah lain, di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara, perkara pernikahan siri mencapai 233 kasus pada tahun 2023, sementara pada tahun 2024 Pengadilan Agama Nunukan mencatat ada 145 kasus terhitung hingga bulan Agustus.

Hukum di Indonesia mengatur tata cara pernikahan yang sah menurut Agama Islam dan sah menurut Hukum Negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:”Tiap-tiap pernikahan harus dicatat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam situasi saat ini, khususnya di Indonesia, peraturan ini menambahkan kewajiban pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada kedua pasangan jika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari.(Riyanto, 2018)

 

TINJAUAN PUSTAKA

Pernikahan siri merupakan pernikahan yang dilakukan secara rahasia. Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ‘alaniyyah, yaitu terang-terangan. Kata siri ini kemudian digabung dengan kata nikah sehingga menjadi nikah siri untuk menyebutkan bahwa nikah yang dilakukan secara diam- diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman, yaitu pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak ramai atau pernikahan yang tidak diketahui atau tidak tercatat di lembaga negara.(Syamdan & Purwoatmodjo, 2019)

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa.(Sahri & Arif, 2018)

Pernikahan yang tidak dicatatkan sebagaimana dikenal dalam masyarakat Indonesia saat ini adalah pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan oleh agama. Namun, ini bukanlah pernikahan yang dilakukan di hadapan pencatat sebagai pejabat pemerintah yang sah, dan juga bukan pernikahan yang tidak dicatatkan di Kementerian Agama bagi yang beragama Islam, dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non-Islam. Muslim. Muslim. Oleh karena itu, kami tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan pemerintah.. Sehingga tidak mempunyai surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.(Burhanuddin, 2012)

Pernikahan rahasia memiliki banyak makna dalam masyarakat. Pertama-tama; pernikahan tanpa perwalian. Kadang-kadang pernikahan semacam itu dilakukan secara rahasia oleh orang lain karena wali calon pengantin perempuan tidak menyetujui atau mengakui keabsahan pernikahan tersebut. Perkawinan yang demikian itu tidak sah, karena perwalian merupakan salah satu rukun perkawinan yang sah. Kedua, perkawinan rahasia adalah perkawinan yang diakui sah secara agama tetapi dicatat di kantor pencatatan perkawinan.(Kharisudin, 2021)

 

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian adalah pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah atau mengintegrasikan pengetahuan dengan menggunakan pendekatan ilmiah untuk mencapai tujuan tertentu. Ini melibatkan aktivitas seperti pengumpulan data, pencatatan, perumusan, analisis, dan penyusunan laporan berdasarkan fakta yang dikumpulkan secara sistematis.

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian library reseacrh atau studi pustaka. Penulis mengumpulkan teori dari berbagai sumber, seperti buku, artikel dan website sebagai dasar penelitian. Data yang dikumpulakan mengacu pada literatur yang relavan. Dalam konteks ini penulis lebih berfokus pada hukum nikah siri dalam perspektif hukum Islam dan negara yang mana fenomena ini masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nikah Siri

Menurut istilah adalah suatu perjanjian atau akad yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata nikah atau yang menunjukkan arti nikah. Kata zawwaj pada awal penggunaannya berartikan pasangan, Akan tetapi arti yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah perkawinan. Allah swt menjadikan manusia berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Nikah menurut syariat selain diartikan sebagai akad juga diartikan sebagai hubungan badan dan itu hanya metafora saja.(Riyanto, 2018)

Ulama Madzhab Syafi’i mendefinisikan dengan: Akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafazh nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Sedangkan ulama Hanafiah memberikan definisi: “Akad yang memfaidahkan halalnya hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan Syara”. Sedangkan menurut KHI yang mengatur tentang munakahat dalam buku I hukum perkawinan. Pasal 2 KHI menyatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksankannya adalah ibadah”.

Menurut Madzhab Hanbali: “nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diungkapkan di dalamnya kata nikah atau kawin, atau yang semakna dengannya”. Menurut Madzhab Hanbali: “rukun nikah ada tiga, yaitu kedua mempelai (suami istri), ijab, dan qabul”.(Faishal Agil Al Munawar, 2020)

Sedangkan pengertian Nikah Siri yang berkembang di masyarakat adalah nikah di bawah tangan; yaitu sebuah proses pernikahan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dalam Islam (seperti adanya wali, saksi dan ijab qabul, hanya saja tidak dilakukan pencatatan pada Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai petugas resmi dari kantor Kementerian Agama bagi mereka yang melakukan perkawinannya menurut agama Islam, dan pada kantor sipil bagi yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam.(Sobari, 2013)

 

B.     Pandangan Islam dan Negara Tentang Nikah Siri

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab-kabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi mereka (suami-istri, wali dan saksi) bersepakat untuk merahasiakan pernikahan ini dari masyarakat. Dalam hal ini, sering pihak lelakilah yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang terjadi.

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini sah Akan tetapi hukumnya adalah makruh. Hukumnya sah dan resmi menurut agama karena sudah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta adanya dua saksi sehingga unsur kerahasiaannya hilang. Adapun sisi kemakruhannya adalah disebabkan adanya perintah Rasulullah SAW., untuk mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan unsur yang berpotensial mengundang keragu-raguan serta tuduhan tidak benar (seperti kumpul kebo misalnya) pada keduanya. Sebagaimana sabda Rasullah SAW yang artinya: “tampakkanlah pernikahan ini dan laksanakan di masjid-masjid serta pukullah terbang atasnya.” (HR al- Tirmidzi).

Di Indonesia ada tiga makna dari "Nikah Siri". Yang pertama, Nikah yang telah dihadiri wali, saksi dan tentu kedua mempelai, namun ada kesepakatan diantara mereka untuk merahasiakan perkawinan itu. Yang kedua, Nikah yang hanya dihadiri oleh dua orang, suami-istri aja, alias nikah tanpa wali, tanpa saksi. Yang ketiga, nikah siri ala Indonesia, yaitu nikah yang telah dihadiri wali, saksi, dan juga rayakan melalui walimah, dikenal di masyarakat, namun pernikahan itu tidak dicatatkan di catatan sipil. Nikah Siri model pertama dan ketiga, semua ulama klasik menyatakan sah. Sedangkan Nikah Siri model kedua, hampir semua ulama (khususnya empat madzhab) menyatakan Haram.

Fatwa MUI No 10 Tahun 2008 Tentang Nikah di Bawah Tangan menyatakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Ketentuan umum yaitu nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Sementara itu, ketentuan hukum yang pertama, pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat. Kedua, pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai    langkah     preventif     untuk     menolak     dampak negatif madharrat (saddan lidz-dzari’ah). Dalam fatwa yang ditandatangani di Jakarta, 17 September 2008 ini, MUI mengambil dalil dari kaidah fiqih sebagai rujukan yang berbunyi:

 

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada mengambil kemaslahatan.”

Terdapat beberapa Komunitas Muslim yang tergabung di Indonesia yang tidak menerapkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Masih banyak dari Muslim yang melangsungkan pernikahan tanpan didaftarkan kepada Petugas Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) terdekat, hal yang demikian disebut sebagai nikah “siri” atau nikah dibawah tangan.(Hanapi, 2024)

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan lagi di KUA. Setiap orang yang melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan Akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Pernikahan siri atau pernikahan dibawah tangan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan. Jadi perkawinan siri adalah sah menurut agama akan tetapi tidak sah menurut Undang-Undang, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat digunakan sebagai bukti otentik telah berlangsungnya sebuah perkawinan.(Syamdan & Purwoatmodjo, 2019)

Nikah siri dalam syariat dianggap sah pernikahannya namun dalam aturan hukum positif Indonesia belum di anggap sah. Sehingga timbullah pandangan dari pengkaji ilmu fikih, khususnya dari kalangan imam madzab Syafi’i. Menurut madzab Syafi’i Nikah Siri adalah “Nikah sirri adalah: pernikahan yang tidak dihadiri oleh dua saksi (akad nikah yang tidak ada saksinya)” Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam pasal 4 menyatakan bahwa, “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Pernikahan (Depertemen Agama RI, 2001). Madzab Syafi’i sepakat melarang pernikahan siri dikarenakan adanya rukun-rukun pernikahan yang tidak lengkap atau tidak sempurna seperti tidak adanya dua orang saksi, tidak ada persetujuan dari mempelai wanita, keluarga dan dirahasiakan dari masyrakat.(Sahri & Arif, 2018)

Adapun dasar hukum yang melarang pernikahan ini dilaksanakan adalah Hadits Rasulullah Saw., Beliau bersabda:”Dari ‘Aisyah r.a., dari Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda,”Tidak sah nikah, melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”

 

C.    Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Nikah Siri

Ada banyak alasan berbeda mengapa orang memasuki pernikahan rahasia. Beberapa orang menikah karena alasan keuangan. Sebagian pemuda tidak sanggup untuk membiayai pesta adat dan tidak sanggup untuk menyediakan tempat tinggal serta harta bersama, sehingga memilih menikah secara mish-al asalkan halal. Ini terjadi di sebagian besar negara Arab. Selain itu, biaya pencatatan pernikahan di KUA sangat mahal sehingga ada yang tidak mampu melakukannya, sementara ada pula yang mampu namun takut pernikahannya diketahui publik. Mereka akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar resmi ke KUA atau Catatan Sipil. Hal ini untuk menutupi jejak dan melindungi mereka dari tuntutan hukum serta sanksi administratif dari atasannya, khususnya dalam kasus perkawinan kedua atau selanjutnya (antara PNS dengan TNI). Pernikahan di Bethel terjadi karena beberapa alasan. 1) kehamilan di luar nikah, 2) tidak adanya izin/persetujuan istri, 3) faktor ekonomi, 4) kurangnya pengetahuan istri, dan 5) kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat. 6) Kesulitan dalam mengatur hukum poligami dalam pencatatan perkawinan.(Erlina, 2017)

Faktor lain yang turut menyebabkan terjadinya perkawinan yang tidak tercatat adalah tidak terpenuhinya persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan atau peraturan teknis yang mendasarinya. Misalnya, calon pengantin perempuan dan laki-laki yang belum mencapai usia dewasa untuk menikah, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Setelah  upaya mereka untuk mendapatkan pengakuan pernikahan di Pengadilan Agama (PA) gagal, mereka terpaksa melakukan pernikahan siri sebagai jalan terakhir.(Khoiriyah, 2017)

 

D.    Dampak Pernikahan Siri

Kedudukan isteri dalam pernikahan siri menurut hukum atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam. Bahwa pernikahan siri tidak dikenal dan tidak diakui dalam negara, maka pernikahan tersebut tidak mempunyai hak perlindungan hukum. Hak isteri    Mau pun suami dapat dilindungi oleh Undang-Undang setelah memiliki alat bukti otentik tentang pernikahannya.

Dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menyatakam bahwa: “Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Sehingga perkawinan siri tidak memiliki kekuatan hukum karena perkawinannya tidak dicatat atau tidak dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan siri bahkan dianggap sebagai suatu pelanggaran, sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.(Syamdan & Purwoatmodjo, 2019)

Nikah siri tidak hanya berdampak pada suami dan istri. Namun dapat berdampak kepada anak dan keluarga besarnya secara psikologis dan sosial. Pernikahan siri atau pernikahan yang tidak tercatat menimbulkan akibat hukum dan ekses pada beberapa pihak yang terkait.

Secara hukum Perkawinan siri berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan di antaranya; a) Istri tidak dianggap sebagai istri sah; b) Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia; c) Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Sedangkan secara sosial istri sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan ini sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau isteri tersebut dianggap menjadi isteri simpanan.

Akibat hukum yang lain dari perkawinan siri terhadap anak adalah anak tidak dapat mengurus akta kelahiran. Hal itu dapat dilihat dari permohonan akta kelahiran yang diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Salah satu syaratnya, harus menunjukan akta nikah orang tua anak tersebut. Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan: “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan Status kewarganegaraan”. Maka di dalam akta kelahiran anak itu statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, tidak tertulis Nama ayah kandungnya dan hanya tertulis ibu kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercatatnya Nama ayah berdampak negatif secara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya.(Andi Muhammad Akmal, 2021)

 

 

 

KESIMPULAN

Pernikahan siri, yang dilakukan tanpa pencatatan resmi di kantor pencatat nikah (KUA) atau kantor catatan sipil, masih ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, meskipun tidak diatur secara khusus dalam hukum. Secara syariat Islam, pernikahan siri dianggap sah jika memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan, seperti ijab qabul, adanya wali, dan saksi. Namun, menurut hukum Indonesia, pernikahan siri tidak sah karena tidak tercatat secara resmi, yang mengakibatkan tidak adanya perlindungan hukum bagi suami, istri, dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Dampak sosial dan psikologis dari pernikahan siri juga cukup besar, terutama bagi istri yang tidak diakui sebagai istri sah, serta bagi anak yang statusnya bisa dianggap sebagai anak luar nikah. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pencatatan pernikahan adalah hal yang wajib agar memperoleh perlindungan hukum yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Andi Muhammad Akmal, M. J. A. (2021). PROBLEMATIKA NIKAH SIRI, NIKAH ONLINE DAN TALAK SIRI SERTA IMPLIKASI HUKUMNYA DALAM FIKIH NIKAH.

Burhanuddin. (2012). NIKAH SIRI: Menjawab semua pertanyaan tentang Nikah Siri. MedPress Digital.

Erlina, T. (2017). NIKAH SIRI DAN KORUPSI. 1–23. http://repository.unigal.ac.id/handle/123456789/405

Faishal Agil Al Munawar. (2020). Telaah Fatwa tentang Nikah Siri. Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, 4(1), 55–63. https://doi.org/10.35316/istidlal.v4i1.210

Hanapi, A. (2024). PERLINDUNGAN ANAK DARI NIKAH SIRI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA. 12.

Kharisudin, K. (2021). Nikah Siri Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Indonesia. Perspektif, 26(1), 48–56. https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i1.791

Khoiriyah, R. (2017). Perempuan dan Anak Dalam Nikah Siri. 12, 407.

Riyanto, M. H. (2018). Nikah Siri: Apa Sih Hukumnya? Pa-Soreang.Go.Id, 1–17. https://pa-soreang.go.id/images/pdfs/Artikel/Nikah Siri Apa Sih Hukumnya.pdf

Sahri, A., & Arif, S. (2018). Kedudukan Hukum Nikah Siri Menurut Madzhab Syafi’i dan Maliki. Mizan: Journal of Islamic Law, 1(1), 93–122. https://doi.org/10.32507/mizan.v1i1.119

Sobari, A. (2013). Nikah Siri Dalam Perspektif Islam. Mizan: Journal of Islamic Law, 1(1), 49–56. https://doi.org/10.32507/mizan.v1i1.117

Syamdan, A. D., & Purwoatmodjo, D. (2019). Aspek Hukum Perkawinan Siri dan Akibat Hukumnya. Notarius, 12(1), 452–466.

 https://www.rri.co.id/index.php/daerah/951459/angka-pernikahan-siri-di-nunukan-menurun, diakses tgl 14 oktober 2024

https://jabar.nu.or.id/ngalogat/nikah-sirri-1KNHI diakses tgl 14 Oktober 2024

https://mirror.mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/muamalah/40468/nikah-siri-bisa-dihukumi-haram-ini-penjelasan-dan-argumentasinya/ diakses tgl 15 Oktober 2024