Penting Untuk Dibaca: Pendidikan Islam sebagai Solusi Etis terhadap Kegagalan Global Mencapai SDGs
illustrasi
Pendidikan Islam sebagai Solusi Etis terhadap Kegagalan Global Mencapai
SDGs
Fatihatu Khoir
STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang
faith.osyi@gmail.com
Pendahuluan
Pencapaian Sustainable Development
Goals (SDGs) era 2030 semakin terancam. Laporan PBB 2024 menunjukkan hanya 17%
target SDGs yang masih sesuai jalur, sedangkan hampir sepertiga target stagnan
atau menurun. Ekonomi global terseret efek pandemi, konflik berkepanjangan, dan
krisis iklim. Akibatnya, lebih 23 juta orang kembali ke kemiskinan ekstrim dan
tambahan 100 juta menderita kelaparan pada 2022 dibanding tahun 2019. Sementara
itu, konflik bersenjata mengguncang jutaan nyawa – populasi pengungsi memuncak
hampir 120 juta orang pada pertengahan 2024, dengan korban sipil meningkat 72%
dalam setahun terakhir. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina – mulai
dari kelaparan anak, konflik bersenjata hingga rusaknya sistem pendidikan –
menjadi contoh nyata kegagalan global memenuhi SDGs, khususnya SDG 1 (Tanpa
Kemiskinan), SDG 2 (Tanpa Kelaparan), SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), SDG 10
(Pengurangan Ketimpangan) dan SDG 16 (Perdamaian dan Keadilan). Esai ini akan
mengurai bagaimana krisis Palestina mencerminkan kegagalan SDGs tersebut dan
mengaitkannya dengan nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam (keadilan,
rahmah, ta’awun, amanah) sebagai solusi etis. Lebih jauh, akan ditunjukkan
bahwa masalah kemiskinan, ketimpangan, perang, dan kelaparan ini bukan hanya di
Palestina, tetapi juga melanda berbagai belahan dunia.
Kegagalan SDGs dalam Tragedi
Palestina
Tragedi kemanusiaan di Palestina
secara konkret menunjukkan kegagalan pencapaian SDGs. Di Jalur Gaza misalnya,
blokade dan konflik berkepanjangan telah menciptakan kemiskinan masif. Menurut
UNRWA, sebelum eskalasi konflik Oktober 2023 sudah ada 1,6 juta warga Gaza yang
membutuhkan bantuan, dengan 81,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Dalam konteks SDG 1 (Pengentasan Kemiskinan), ini adalah kegagalan total:
mayoritas penduduk Gaza telah menjadi miskin ekstrem. Dampak lanjutan berupa
kelaparan juga sangat serius. Laporan gabungan UNICEF dan WFP (Mei 2025)
mengungkap bahwa 470.000 warga Gaza menghadapi kelaparan katastropik (fase IPC
5), dan diperkirakan 71.000 anak serta 17.000 ibu hamil akan membutuhkan
perawatan malnutrisi akut. Ini jelas-jelas melanggar tujuan SDG 2 (Tanpa
Kelaparan). Bahkan ratusan keluarga bertahan tanpa makanan cukup karena blokade
akses bantuan. Kondisi ini diperparah oleh krisis air bersih dan kesehatan,
menyebabkan malnutrisi cepat meningkat di kalangan anak-anak Gaza.
Implikasi kegagalan juga tampak dalam
sektor pendidikan (SDG 4). Studi UNESCO-Cambridge (Agustus 2024) menyatakan
perang menghancurkan seluruh sistem pendidikan Gaza: dari 625.000 murid, hampir
semuanya terhenti sekolahnya, dan hampir seluruh gedung sekolah rusak atau
hancur akibat serangan militer. Data OCHA melaporkan lebih dari 40.000 warga
Gaza tewas, termasuk 10.627 anak dan 411 guru, serta puluhan ribu lainnya cedera.
Sekolah-sekolah yang hancur juga digunakan sebagai tempat pengungsian,
mengurangi lagi ruang belajar. Kondisi ini berlawanan dengan SDG 4 yang
menuntut pendidikan berkualitas terjangkau bagi semua.
SDG 10 dan SDG 16 pun gagal
terpenuhi. Ketimpangan dalam perlakuan politik-ekonomi terjadi nyata:
pendudukan dan kebijakan pembatasan akses telah menciptakan gap sosial yang
lebar antara warga Palestina dan warga Israel. Di samping itu, kekerasan
bersenjata melanggar SDG 16 (Perdamaian, Keadilan) – konflik di Gaza dan Tepi
Barat menyebabkan rakyat sipil hidup di bawah ancaman perang terus-menerus.
Laporan SDG PBB mencatat tingkat kekerasan sipil global meningkat tajam, dan
hampir 120 juta orang mengungsi pada tahun 2024. Palestina adalah contoh paling
ekstrem: jutaan orang di wilayah tersebut secara brutal terpaksa mengungsi atau
terjebak di daerah konflik, tanpa keadilan dan perlindungan.
Nilai-nilai Pendidikan Islam sebagai
Solusi Etis
Pendidikan Islam menempatkan
nilai-nilai moral sebagai inti pembentukan karakter. Nilai keadilan (al-ʻAdl)
adalah salah satu prinsip pokok. Al-Qur’an menegaskan: “Allah memerintahkan
kalian menyampaikan amanah kepada pemiliknya, dan apabila menetapkan hukum di
antara manusia hendaklah kamu tetapkan secara adil.” Ayat ini (QS An-Nisa’
4:58) sekaligus menekankan dua nilai – amanah dan keadilan. Amanah berarti
tanggung jawab menjaga kesejahteraan sesama; keadilan berarti memperlakukan
setiap individu dengan sama tanpa prasangka. Jika nilai ini dijalankan,
kebijakan ekonomi dan sosial akan dirancang adil bagi semua golongan. Misalnya,
konsep zakat dan wakaf dalam Islam secara langsung adalah mekanisme menunaikan
amanah untuk membantu fakir-miskin, mengurangi jurang kemiskinan (SDG 1) dan
kelaparan (SDG 2). Laporan World Bank mencatat bahwa “instrumen keuangan sosial
Islam seperti wakaf dan zakat dapat mendukung SDGs jika dikelola transparan dan
efisien”.Bahkan ada contoh konkret: dana zakat sebesar US\$350.000 di Indonesia
digunakan membangun pembangkit listrik mikro, memberi manfaat langsung bagi
ribuan penduduk di daerah terpencil.
Nilai rahmah (kasih sayang/kemurahan
hati) juga krusial. Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai
“rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya’ 21:107). Konsep ini menekankan cinta
kasih universal; dalam pendidikan Islam, siswa diajarkan menghargai dan
menolong semua makhluk. Sebagai solusi etis, rahmah menumbuhkan kepekaan untuk
merespons penderitaan—misalnya dengan menyantuni anak-anak kelaparan, atau
mendidik generasi terpelajar tanpa membedakan latar. Sementara itu, nilai
ta’awun (tolong-menolong) diperkuat dalam Al-Qur’an: “Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa”. Sikap kerjasama dan solidaritas seperti ini jika ditanamkan
melalui pendidikan dapat mendorong masyarakat berkolaborasi mengurangi
ketimpangan (SDG 10) dan mempromosikan perdamaian (SDG 16).
Secara praktik, pendidikan Islam yang
menanamkan amanah, keadilan, rahmah, dan ta’awun mengajarkan umat mengambil
peran aktif mengatasi masalah. Misalnya, adanya kurikulum karakter berbasis
nilai Islami dapat melatih siswa mengorganisir bakti sosial, program beasiswa
untuk anak yatim, hingga advokasi keadilan sosial. Nilai amanah mengingatkan
pemimpin untuk bertanggung jawab pada rakyat, sehingga kebijakan geopolitik
bisa diarahkan mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan universal. Dengan
demikian, nilai-nilai Islam tersebut bukan hanya idealisme; mereka merupakan
pedoman etis yang dapat mengisi kekosongan moral dalam menghadapi krisis
global.
Refleksi Global
Krisis yang mirip tidak hanya terjadi
di Palestina. Di Yaman, konflik panjang telah memicu kelaparan massal; di Sudan
dan Etiopia, perang saudara menimbulkan jutaan pengungsi; di Ukraina, perang
merenggut keamanan dan memasok migran. Data Global Hunger Index 2024 mengungkap
733 juta orang masih kekurangan kalori cukup, dan "starvation is
proliferating as a weapon of war” (kelaparan menyebar sebagai senjata perang).
Ketimpangan global melebar: menurut Laporan SDG 2024, ketimpangan ekonomi
meningkat sehingga pertumbuhan penduduk termiskin bahkan melambat dibanding
dunia maju. Dunia juga mencatat tambahan puluhan juta jiwa kembali ke
kemiskinan dan kesenjangan sosial yang memicu konflik baru.
Di tengah situasi ini, ajaran Islam
mengajak umatnya menjadi ummah yang peduli bagi seluruh alam (rahmatan
lil-‘âlamîn). Nilai keadilan universal mendorong penegakan hak asasi setiap
orang, tanpa membedakan ras, agama, atau suku. Nilai rahmah dan tolong-menolong
menolak pandangan eksklusif; Islam justru memerintahkan membantu siapapun yang
teraniaya. Dengan mengedepankan nilai-nilai tersebut, pendidikan Islam
berpotensi membentuk masyarakat yang lebih empatik dan solidaritas, tidak hanya
bagi umat Islam saja tetapi bagi kemanusiaan secara umum. Dalam konteks global,
penerapan nilai-nilai ini dapat menjadi etika transnasional yang memperkuat
kerja sama internasional. Misalnya, zakat internasional dan waqf dakwah
kemanusiaan bisa menjadi model inovasi pembiayaan pembangunan yang mengisi
kekurangan dana bagi SDGs 1-2 di negara berkembang. Prinsip keadilan Islam juga
mengkritik sistem internasional yang tidak adil, menuntut pengaturan ulang
mekanisme ekonomi global agar miskin tak tersisih.
Penutup
Tragedi Palestina memantulkan bayangan
kegagalan global mencapai SDGs: dari kemiskinan dan kelaparan ekstrem hingga
terhancurnya pendidikan dan krisis kemanusiaan. Peristiwa ini adalah alarm
bahwa pendekatan sekuler semata tidak cukup; dibutuhkan solusi berbasis nilai
etis. Pendidikan Islam yang menanamkan keadilan, rahmah, ta’awun, dan amanah
menawarkan kerangka etis yang kuat. Nilai-nilai tersebut dapat membentuk
generasi yang peduli terhadap kemiskinan dan ketidakadilan, bersedia saling
membantu tanpa batas, serta menuntut kepemimpinan bertanggung jawab. Dengan
menebarkan nilai-nilai ini melalui kurikulum dan sosialisasi global, umat Islam
dan masyarakat luas dapat bergerak menuju masyarakat dunia yang lebih adil dan
damai. Kepedulian mendalam dalam ajaran Islam menjadi landasan moral untuk
mengatasi krisis global—sehingga tujuan SDGs bukan hanya target teknokratis,
melainkan tanggung jawab etis seluruh umat manusia.
Referensi:
Arati, Surah An-Nisa’ 4:58
(Terjemahan Quran NU Online); Surah Al-Anbiya’ 21:107; Academy of Islam,
Reflection No. 149 on Quran 5:2 – Cooperating with Others; UNICEF, Risk of
famine for children across Gaza, new report says, 12 Mei 2025; UNRWA, “HASENE
Relief Fund for Palestine Refugees and Civilians in the Gaza Strip donates EUR
1 million to UNRWA”, 14 Desember 2023; Faculty of Education Universitas
Cambridge dkk., Palestinian Education Under Attack in Gaza: Restoration,
Recovery, Rights and Responsibilities, Sept 2024; United Nations, The
Sustainable Development Goals Report 2024: Key Messages; Ahmad H. A. Aziz &
Wei Zhang, “Can Islamic social finance be the key to end poverty and hunger?”
(World Bank Blog, 27 Mar 2019); Concern Worldwide & Welthungerhilfe, Global
Hunger Index 2024: The Inequalities of Hunger.